Segera
kupanggil tukang mainan di KRL itu, boneka tangan berbentuk bebek dengan bunyi
yang lucu saat dipencet bagian dalamnya, lebih lucu lagi adalah lidah boneka
yang keluar secara mengagetkan bersamaan dengan bunyinya.
"Beli
satu bang .."
kubayangkan senyum ceria Dinda saat menerima hadiah 'murah'
dari ayahnya ini. Kumasukkan ke dalam tas kantong besar melengkapi beberapa
item mainan lainnya yang telah kubeli sebelumnya.
Kemarin,
tidak kurang satu kantong besar lainnya berisi mainan yang kubeli dari sebuah
pusat mainan anak-anak terkenal. Kupilih berbagai mainan yang pernah ditunjuk
Dinda ketika dulu pernah kuajak sambil mengantar mamanya berbelanja. Ada boneka
barbie, mainan perlengkapan dapur, dokter-dokteran, boneka-boneka binatang yang
lucu-lucu.
Besok,
aku juga sudah berjanji dalam hati untuk membelikan sebuah tas sekolah yang
pernah ia minta setiap kali melihat konvoi anak-anak Taman Kanak-Kanak Cendikia
lewat depan rumah kami. Usianya yang baru menginjak angka 3 membuat ia hanya
bisa bermimpi menjadi bagian dari konvoi tersebut. Menurut cerita ibunya, ia
terlihat sangat riang ketika anak-anak TK itu melambai-lambaikan tangan ke
arahnya, dan dengan senyumnya yang manis ia membalas lambaian tersebut. Bahkan
sampai iring-iringan terakhir sudah terlihat bagai titik di ujung gang ia masih
berdiri terpaku dengan tangan terus melambai. Lambat, perlahan melemah
lambaiannya dan seperti enggan menurunkan tangannya matanya yang bulat bersinar
indah mulai berkaca-kaca, sebaris kata pendek pun meluncur sedih, "Besok
kesini lagi ya kakak ..".
Ibunya
yang memperhatikan tingkah Dinda seolah bisa menangkap seberkas impian di benak
Dinda. Ia meminta izin ke Yayasan Cendikia agar anaknya diizinkan untuk sekedar
bermain bersama anak-anak TK itu. Syukurlah bukan cuma sekedar bermain izin
yang diberikan, bahkan Dinda dibolehkan untuk ikut berbaris dengan anak-anak
itu sebelum memasuki kelas. Hanya saja, tentu Dinda tak boleh masuk kelas
karena ia bukan siswa disitu. Senang bercampur sedih yang dirasakan Dinda,
senang karena bisa ikut dalam keriangan bersekolah, namun sedih ketika harus
rela tak bisa masuk kelas pada saat jam belajar. Senang karena Putri, tetangga
sebelah yang baru masuk Sekolah Dasar memberikannya seragam TK, sedih karena
seragam itu hanya berlaku di halaman bermain.
Saat
itu, aku meminta ibunya agar tak terlalu menuruti permintaan Dinda karena
kupikir saat ini waktunya Dinda untuk bermain, mungkin tahun depan barulah ia
dikenalkan dengan sekolah. Jadilah Dinda menangis karena tas yang dimintanya
tak pernah kubelikan, ibunya pun tak berani membantah laranganku agar tidak
membelikannya atas seizinku.
Lusa,
hari libur kerja, aku juga sudah berjanji mengajak Dinda untuk tamasya,
kemanapun ia mau. Selama ini, ia hanya selalu mendengar keceriaan Dunia Fantasi
dari Rena temannya. Atau kesejukan alam di Puncak dari Lia, dan kehangatan
pantai Anyer, Carita bahkan pantai Kuta dari Doni yang keluarganya memang hoby
ke pantai. Dinda selalu menceritakan ulang hal-hal indah dan menyenangkan dari
teman-temannya itu ke ibunya. Kepadaku? Tidak, karena ia tahu aku teramat bosan
mendengar cerita-cerita dia yang diulang-ulang itu.
Kubayangkan
Dinda tak kalah hebatnya bercerita kepada Doni, Lia dan Rena akan semua
pengalamannya berjalan-jalan, tamasya yang baru pertama kali dijalaninya itu.
Dan aku, ayahnya, akan teramat senang berjam-jam mendengar cerita Dinda meski
aku tahu persis yang dia lakukan saat tamasya.
Aku
sudah berubah, sebuah kejadian yang menghentakkan jiwa dan bathinku menyadarkanku
dari rasa sayang yang tertahan kepada Dinda. Pekerjaan dan kesibukan berbagai
aktifitas luar membuatku terlalu sering menggadaikan kebersamaanku dengan gadis
kecilku nan manis itu.
Boneka,
sejumlah mainan kesenangannya, tas sekolah impiannya, jalan-jalan yang akan
menjadi fantasinya, akan kuberikan semuanya hari ini, besok dan kapanpun ia
inginkan. Kan kubiarkan ia bercerita sepanjang ia suka, sekalipun sampai
tertidur dalam pelukanku. Namun itu semua terlambat, Dinda tak mungkin melihat
boneka dan mainan kesenangannya, tak kan pernah memakai tas sekolah impiannya
dan takkan pernah bertamasya bersama. Sejak dua hari lalu saat kepergiannya
yang menghentakkan jiwa, ingin rasanya aku mendengar lagi cerita-ceritanya
dengan bahasa dan logat yang lucu yang dulu teramat membosankan bagiku. Aku
sangat mencintainya, semoga ia tahu.