Suatu hari sang guru
bertanya kepada murid-muridnya:
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan
berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran,
karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi.." sang guru balik bertanya, "Lawan bicaranya
justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat
berbicara secara halus?"
Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar
menurut pertimbangan mereka..
Namun tak satupun jawaban yang memuaskan..
Sang guru lalu berkata:
"Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan,jarak
antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu
dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.
Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi
marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi
lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."
Sang guru masih melanjutkan, "Sebaliknya, apa yang terjadi
ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun
ketika mereka berbicarasuara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan
kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa
demikian?"
"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak.
Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja
amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan:
"Ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu
menciptakan jarak.. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang
mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, TAK mengucapkan
kata-kata mungkin merupakan cara yang BIJAKSANA. Karena waktu akan
membantumu.."
"Flatter me, and I may not believe you. Criticize me, and I may
not like you. Ignore me, and I may not forgive you. Encourage me, and I will
not forget you."
William Arthur Ward